Telah kita bahas sebelumnya tentang
perbedaan sikap antara Nabi Yusuf dan Nabi Musa, dimana Nabi Yusuf memilih
untuk melebur menjadi bagian yang satu dengan kerajaan Mesir sementara Nabi
Musa memilih untuk memerangi kerajaan Fir’aun Mesir; yang mana perbedaan itu
dikarenakan sebab yang sangat mendasar, yaitu kerajaan Mesir di zaman Nabi
Yusuf dipimpin oleh seorang raja yang berorintasi kepada kesejahteraan rakyat;
dimana kerajaan diselenggarakan dengan adil dan bijaksana di atas dasar-dasar
perikemanusiaan dan perikeadilan, sementara di zaman Nabi Musa kerajaan Mesir
saat itu dipimpin oleh seorang raja yang menindas kepada rakyat; dimana
kerajaan diselenggarakan secara zalim di atas dasar perbudakan dan penindasan.
Bahkan kerajaan Fira’un Mesir ini bisa kita katakan adalah satu model dari seburuk-buruknya tatanan hidup manusia yang pernah ada di muka bumi. Karenanya bukan tanpa alasan jika Allah mengabadikan jasad Fir’aun dan Piramida Mesir yang adalah bangunan simbolik dari keberadaan tatanan Fir’aun tersebut. Piramida Mesir ini sendiri sesungguhnya adalah bangunan yang secara simbolik merupakan antithesis dari Baitullah Mekah itu. Pada kedua bangunan tersebut terkandung kodefikasi untuk memahami seperti apa ukuran dari seburuk-buruknya tatanan dan seperti apa ukuran dari sebaik-baiknya tatanan itu.
Disebut sebagai sebagai
seburuk-buruknya tatanan yang pernah ada di muka bumi, selain karena pada
masanya itulah terjadi pembunuhan masal terhadap bayi laki-laki Bani Israil, padanya
juga kita mendapati perbudakan terbesar pertama yang pernah terjadi sepanjang
sejarah umat manusia. Dimana setiap titik kemakmuran yang dinikmati oleh
kerajaan Fir’aun ini adalah hasil tetasan keringat dan darah dari perbudakan
yang zalim kepada Bani Israil. Kerajaan Fir’aun ini juga terkenal anti
toleransi atas perbedaan keyakinan pada masyarakatnya. Singkatnya, terlihat
nyata tidak ada perikemanusiaan padanya dan tidak ada perikeadilan di dalamnya.
Bentuk piramid pada Piramida Mesir sendiri
merupakan simbolika dari suatu tatanan yang mana kedaulatan sepenuhnya berada di
tangan seorang raja. Tatanan masyarakat kerajaan Fir’aun Mesir tersebut
tersusun atas lapisan-lapisan strata atau kasta dimana Bani Israil berada pada
lapisan paling bawah yang keberadaannya hanya untuk menjadi budak bagi
kepentingan kerajaan. Tidak ada kemerdekaan dan tidak ada perikeadilan bagi
Bani Israil. Dalam tatanan seperti ini memang tegaknya perikemanusiaan dan
perikeadilan itu menjadi sebuah kemustahilan. Karenanya tidak mengherankan jika
satu-satunya pilihan yang ada bagi Nabi Musa adalah membebaskan Bani Israil
dari perbudakan kerajaan zalim itu meskipun itu berarti harus berkonfrontasi
dengan Fir’aun.
Dan Musa berkata,
“Wahai Fir‘aun! Sungguh, aku adalah seorang utusan dari Tuhan seluruh alam, aku
wajib mengatakan yang sebenarnya tentang Allah. Sungguh, aku datang kepadamu
dengan membawa bukti yang nyata dari Tuhanmu, maka lepaskanlah Bani Israil
(pergi) bersamaku.” (QS. Al-Araf
[7]:104-105
Meski perjuangan Nabi Musa bersama
Nabi Harun saudaranya untuk membebaskan Bani Israil ini berlangsung panjang dan
dramatis, namun pada akhirnya Bani Israil berhasil dikeluarkan dari tanah
Fir’aun menuju tanah perjanjian. Pembebasan Bani Israil ini juga diwarnai
dengan tenggelamnya Fir’aun bersama pasukannya di Laut Merah. Tumbangnya kezaliman
Fir’aun ini menambah rentetan pembuktian betapa kedurhakaan kepada Tuhan
semesta alam hanya akan berujung kepada kehancuran dan kebinasaan. Kaum Nuh,
kaum Aad, kaum Tsamud, Penduduk Madyan dan kaum Luth pun telah dihancurkan
akibat kedurhakaannya kepada fitrah penciptaan semesta alam yang mengharuskan setiap
peradaban berdiri di atas hukum kasih sayang-Nya.
Namun sayangnya setelah Nabi Musa
berhasil mengeluarkan Bani Israil dari perbudakan tanah Mesir dan setelah berbagai
mukjizat mereka saksikan, Bani Israil masih saja mendurhakai Nabi Musa.
Kedurhakaan mereka terhadapa nabinya itu, membuat Bani Israil diharamkan atas
mereka tanah perjanjian dan mereka harus terkurung 40 tahun lamanya di Padang
Tiih atau Gurun Pasir Sinai. Mentalitas Bani Israil yang lemah akibat ratusan
tahun hidup sebagai budak membuat mereka sama sekali tidak bernyali memasuki
negeri orang Filistin. Ketakutan mereka terhadap berita keperkasaan orang-orang
Filistin membut mereka memilih mendurhakai Nabi Musa secara nyata. Keterangan tentang
ini dapat kita lihat pada QS. Al-Maidah [5]:24-26 berikut:
Mereka berkata:
“Hai Musa, kami sekali sekali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi
mereka ada didalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah
kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti disini saja”. Berkata Musa: “Ya Tuhanku, aku
tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu pisahkanlah
antara kami dengan orang-orang yang fasik itu”. Allah berfirman: “(Jika demikian),
maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun,
(selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tiih) itu.
Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasik
itu”.
Setelah 40 tahun berlalu dimana
generasi tua yang berkarat dalam kefasikan berganti dengan generasi muda, di
masa kepemimpinan Yusya bin Nun barulah Bani Israil bernyali untuk melakukan
invansi ke tanah Kanaan negeri orang Filistin itu. Mereka berhasil menguasai
negeri itu di bawah kepemimpinan Yusya bin Nun. Namun selepas wafatnya Yusya bin
Nun Bani Israil kembali tenggelam dalam kefasikan dan meninggalkan ajaran Musa.
Keadaan mereka yang lemah ini membuat mereka dikalahkan kembali oleh bangsa
Filistin suku Amaliqah atau Amalek. Mereka terusir dan tertindas selama
beberapa generasi dan hidup dengan kewajiban membayar upeti. Sekian lama hidup
sebagai bangsa yang tertindas membuat mereka akhirnya meminta kepada Nabi
Syamwil atau Samuel diangkat untuk mereka seorang raja agar mereka berperang di
bawah kepemimpinannya, sebagaimana diterangkan pada ayat berikut:
“Tidakkah kamu
perhatikan para pemuka Bani Israil setelah Musa wafat, ketika mereka berkata
kepada seorang nabi mereka, "Angkatlah seorang raja untuk kami, niscaya
kami berperang di jalan Allah." Nabi mereka menjawab, "Jangan-jangan
jika diwajibkan atasmu berperang, kamu tidak akan berperang juga?" Mereka
menjawab, "Mengapa kami tidak akan berperang di jalan Allah, sedangkan
kami telah diusir dari kampung halaman kami dan (dipisahkan dari) anak-anak
kami?" Tetapi ketika perang itu diwajibkan atas mereka, mereka berpaling,
kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang
zhalim.” (QS. Al-Baqarah
[2]:246)
Singkat cerita diangkatlah kemudian Thalut
atau Saul oleh Nabi Syamwil menjadi raja atas mereka. Diangkatnya Thalut ini
menjadi penanda awal dimulainya tradisi kerajaan di kalangan Israil. Meski
diwarnai dengan penolakan namun pada akhirnya mereka menerima Thalut sebagai
raja atas mereka dan memimpin mereka melawan suku Amaliqah. Dan sebagaimana
kisah yang sudah sering kita dengar, dalam peperangan itulah Nabi Daud yang
kala itu menjadi salah satu prajurit Thalut berhasil mengalahkan Jalut atau
Goliat. Jalut prajurit terkuat, berbadan raksasa dengan kehebatannya yang
melegenda itu diterbunuh oleh Nabi Daud hanya dengan ketapel dan 3 buah
kerikil. Takluk kemudian bangsa Amalek itu dan kekuasaan atas tanah Filistin
pun kembali kepada Bani Israil.
Selepas wafatnya Thalut, Nabi Daud
kemudian dinobatkan sebagai raja. Diangkatnya Nabi Daud menjadi raja sebenarnya
hanya meneruskan tradisi kerajaan yang telah dimulai oleh Bani Israil itu. Yang
dengan itu menjadikan Nabi Daud sebagai nabi pertama yang menjadi raja. Sebelum
itu tidak ada seorang nabi pun yang pernah menjadi seorang raja. Di tanah
Filistin atau Palestina itulah Nabi Daud membangun imperium kerajaannya dan
membawa Bani Israil ke masa keemasannya. Meski bisa kita katakan bahwa Kerajaan
Daud ini adalah kerjaaan terbaik yang pernah ada di sepanjang zaman kenabian,
namun ada beberapa koreksi atas Kerajaan Daud yang Allah tinggalkan untuk
menjadi pelajaran bagi generasi yang akan datang. Inilah yang akan menjadi
kajian kita berikutnya.
Social Media